BURUNG
YANG MALANG
Hari minggu, Mia bangun pagi untuk
berolahraga bersama orang tuanya. Mia membuka pintu lebar-lebar. Namun, ketika
Mia membungkukkan badan untuk melakukan sedikit peregangan, dia melihat seekor
burung kecil tergeletak lemas di lantai teras rumah. Sayap burung itu terkulai
penuh darah. Mia berjonkok untuk mengamati lebih dekat.
“Ooh… lengan sayapnya terluka. Darahnya
cukup banyak,” gumamnya.
Mia segera mengambil obat antiseptik yang
biasa di letakkan ibu di dalam kotak obat. Ia lalu meneteskan obat antiseptik
ke lengan burung itu pelan-pelan.
“Kau tenang saja burung cantik, ini akan
sedikit sakit. Tapi kau akan segera sembuh dan bisa terbang lagi bersama
keluargamu,” ujarnya lirih pada burung malang itu seperti seorang dokter.
“Kau
boleh meletakkan burung itu di kebun belakang rumah, jangan lupa jauhkan dari
jangkauan si meong.”
Setelah
memberikan tempat yang nyaman, Mia segera menyusul orang tuanya lari pagi.
Sepulang
dari berlari, Mia tak henti-hentinya menjenguk pasiennya. Sesekali paruh kecil
itu diusapi dengan air dan biji kertas.
Dua
hari berlalu, tetapi burung itu tetap terbaring lemah meskipun lukanya telah
mongering. Ketika suatu pagi Mia bungun untuk melihat pasien kecilnya, betapa
terkejut dia.
“Ayah…
Ibu…!” teriak Mia. Ayah dan Ibu pun
tergopoh-gopoh menghampiri Mia.
“Lihat,
Yah! Burung ini kenapa? Sayap dan tubuhnya kaku dan dadanya tidak naik turun
seperti kemarin.” Seru Mia.
Ayah dengan lembut mengelus rambut
putrinya lalu berkata, “Mia, burung ini cukup terluka parah waktu kau
menemukannya. Dia sekarang tidak kuat lagi.”
“Mmm…
maksud Ayah dia sudah mati?”pekik Mia.
“Iya,
Mia Ayah turut menyesal.”
“Tetapi, Mia kan sudah mengobati lukanya,
memberi minum serta makan,” protes Mia.
“Mia sudah benar, tetapi burung ini
terlalu lemah. Ini bukan salah Mia,” hibur Ibu.
“Maafkan aku burung kecil, aku tidak bisa
menyelamatkanmu.” Mia memandangi burung itu dengan penuh iba dan penyesalan.
“Tuhan tahu Mia telah berusaha dengan
sebaik-baiknya dan burung ini juga tahu. Dia pasti berterima kasih kepadamu
jika dia bisa bicara,” lanjut Ayah.
Mia mulai tersenyum di sela
tangisnya.”Kita akan menguburnya, Ayah?”
Ayah mengangguk, “Iya, Ayah akan menggali
lubang di tanah pojok sana.”
Mia masih menangis, tetapi dia senang
sekali bisa merawat burung yang malang itu, walaupun hasilnya tidak seperti
yang dia harapkan.