Jumat, 15 Juni 2012

BURUNG YANG MALANG


                             BURUNG YANG MALANG
      Hari minggu, Mia bangun pagi untuk berolahraga bersama orang tuanya. Mia membuka pintu lebar-lebar. Namun, ketika Mia membungkukkan badan untuk melakukan sedikit peregangan, dia melihat seekor burung kecil tergeletak lemas di lantai teras rumah. Sayap burung itu terkulai penuh darah. Mia berjonkok untuk mengamati lebih dekat.
     “Ooh… lengan sayapnya terluka. Darahnya cukup banyak,” gumamnya.
      Mia segera mengambil obat antiseptik yang biasa di letakkan ibu di dalam kotak obat. Ia lalu meneteskan obat antiseptik ke lengan burung itu pelan-pelan.
      “Kau tenang saja burung cantik, ini akan sedikit sakit. Tapi kau akan segera sembuh dan bisa terbang lagi bersama keluargamu,” ujarnya lirih pada burung malang itu seperti seorang dokter.
     “Kau boleh meletakkan burung itu di kebun belakang rumah, jangan lupa jauhkan dari jangkauan si meong.”
     Setelah memberikan tempat yang nyaman, Mia segera menyusul orang tuanya lari pagi.
Sepulang dari berlari, Mia tak henti-hentinya menjenguk pasiennya. Sesekali paruh kecil itu  diusapi dengan air dan biji kertas.
     Dua hari berlalu, tetapi burung itu tetap terbaring lemah meskipun lukanya telah mongering. Ketika suatu pagi Mia bungun untuk melihat pasien kecilnya, betapa terkejut dia.
     “Ayah… Ibu…!” teriak  Mia. Ayah dan Ibu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mia.
      “Lihat, Yah! Burung ini kenapa? Sayap dan tubuhnya kaku dan dadanya tidak naik turun seperti kemarin.” Seru Mia.
      Ayah dengan lembut mengelus rambut putrinya lalu berkata, “Mia, burung ini cukup terluka parah waktu kau menemukannya. Dia sekarang tidak kuat lagi.”
     “Mmm… maksud Ayah dia sudah mati?”pekik Mia.
     “Iya, Mia Ayah turut menyesal.”
     “Tetapi, Mia kan sudah mengobati lukanya, memberi minum serta makan,” protes Mia.
     “Mia sudah benar, tetapi burung ini terlalu lemah. Ini bukan salah Mia,” hibur Ibu.
      “Maafkan aku burung kecil, aku tidak bisa menyelamatkanmu.” Mia memandangi burung itu dengan penuh iba dan penyesalan.
      “Tuhan tahu Mia telah berusaha dengan sebaik-baiknya dan burung ini juga tahu. Dia pasti berterima kasih kepadamu jika dia bisa bicara,” lanjut Ayah.
     Mia mulai tersenyum di sela tangisnya.”Kita akan menguburnya, Ayah?”
     Ayah mengangguk, “Iya, Ayah akan menggali lubang di tanah pojok sana.”
     Mia masih menangis, tetapi dia senang sekali bisa merawat burung yang malang itu, walaupun hasilnya tidak seperti yang dia harapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar